Postingan

Kesusastra Jawa: Gatolotjo

 Memang ini yang aku mau. Tidak lumrah. Tidak seperti orang kebanyakan. Tidak hanya berpengetahuan seperti kalian. Kalian ini sama dengan lintah. Tidak punya mata dan telinga. Asal amis disedot sampai habis. Dikira madumangsa. Jika sudah kenyang tidur nyenyak. Kemudian tidak keluar sampai satu tahun. "Akibatnya salah paham. Menghasilkan kesembronoan, mengikuti kitab sengsara. Mengikuti dalil tanpa hasil. Hanya menghasilkan nikmat dan rasa itu sendiri. Itu artinya sama dengan hidup tanpa mata. Matamu seperti mata bambu. Tidak berguna."

Suka

 Kita Lelaki, Kita suka bersarung Sebuah sandangan identik keagamaan Namun kita tidak taat dalam beribadah Kita Wanita, Kita suka berhijab dengan uforia macam-macam gaya  Hijab dipakai untuk menutup aurat Namun kita sulit pandai dan cerdik menjaga nafsu serta martabat

Misandri

Mau anak laki-laki ataupun perempuan, semuanya sama terlahir suci dari rahim ibu. Bukan terlahir dari mindset; opini misoginis/misandri. Jika feminis menuntut kesetaraan gender, maka ndrongers hanya meminta kesetaraan gondrong. Karena gondrong bukan sexist/identitas (satu) gender Lagi pula, bagaimana dengan kode etik yang terlalu mengatur kerapian alamiah tubuh. Bukankah kode etik memiliki batasan cangkupan terkait perilaku, tata cara sosial, kerapian pakaian. Kenapa mengatur hingga kerapian bagian tubuh (rambut). Apakah tidak melanggar asasi jika seperti itu. Lama-lama jika hal sepele seperti ini di hiraukan, akan terus beimplikasi, kode etik mencangkup harus berkulit putih, mancung, cewek harus langsing, dll. Dark mindset sudah menguasai kerangka berpikir sosial masyarakat luas.

Kesadaran Diskursus Ilmu

Feminisme adalah kesadaran bahwa perempuan masih menjadi pihak yang didiskriminasikan dan belum memiliki hak sama dengan laki-laki. Ada agenda panjang dan perjuangan gerakan perempuan atau gerakan feminisme menuju perbaikan hak-hak perempuan di manapun. Feminisme melebihi fashion atau pengkondisian diri perempuan menjadi apa yang diinginkan komunitas atau masyakaratnya. Dunia fashion mengatur agar perempuan memakai baju, dandanan (make up), pernak-pernik sesuai apa yang sekarang laris di pasaran. Industri fashion dan make up menuai jutaan dolar dari konsumsi masyarakat kita di seluruh dunia. Seksualitas dan tubuh perempuan selalu menjadi bulan-bulanan dalam industri kecantikan di seluruh dunia. Industri ini sangat menguntungkan dan dibutuhkan oleh masyarakat yang menilai perempuan dari kecantikan dan penampilannya. Feminisme tidak ingin menilai perempuan dari tampilannya. Feminisme ingin membela hak-hak perempuan yang belum sama. Feminisme tidak melihat kulit atau bungkus luar dari

Bebas

Bagi saya terkekang dengan hal yang saya sukai adalah sebuah kebebasan. Dan bagi saya orang yang mendefinisikan kebebasan dengan arti bebas tanpa batasan-batasan, aturan, waktu, dll itu sedang tidak sehat akalnya. Jadi perlu kita sadari bersama, banyak orang yang terbunuh karena pemikirannya sendiri dan dikubur di dalam pemikarannya sendiri. Dan siapa saja yang bisa sadar apakah jati dirinya benar-benar masih hidup di dalam pemikirannya yang dia kampanyekan ke orang-orang. Katakanlah para tokoh agama, mubaligh, aktivis, guru, dosen, tokoh pengamat, para pemikir. Kadang modernitas melahap buta ke-jati diri-an mereka. Kebebasan itu bukan untuk orang lain, bukan hal-hal yang bersifat eksternal. Contoh, lihatlah aku kaya, aku bisa begini-begitu dengan leluasa, dll. Kebebasan merupakan nilai internalisasi jati diri kita ke dalam pola pikiran yang menjalankan roda kehidupan rutinitas tubuh.

Nada

Justru orang yang memainkan alat musik itu kerap merasa sunyi. Dia mencari-cari siapa gerangan yang akan menjadi vokalis di atas tumpukan tangga nada yang telah dia tata.

Sudut Pandang

Gambar
Jauh sebelum fajar menyapa Meraba puncak-puncak pegunungan dengan pijar jemari Nya (Tuhan; jesus) Punggung bumi teraspal sudah diriuhkan dengan babi-babi bermantel besi yang sedang sibuk hilir-mudik Berpacu saling mendahului bersama senandung panggilan subuh (ummat muslim) Para manusia itu menuju tempat rebah yang disebut rumah. Diantara riuh-ricuh tersebut, wanita ku sibuk menggenggam Rosario (tasbih; kristen) Memutar, mencubit, menggulirkan bersamaan satuan nada puji Tuhan Bersatu damai dalam simponi. Aku; lelakinya Terus merabanya tanpa henti Dalam tubuh do'a Membiarkan cicak, nyamuk, kecoa, tikus di gubuk ku cemburu dalam sahajanya kemesraan kami. Rikuhnya kami dalam perjalanan peribadatan menjadi saingan unggul diantara pemudik yang lalu-lalang tanpa kedamaian dalam perjalanan pulang di mata Tuhan. Kerinduan kami terhadap apa yang kami yakini sebagai “rumah”, melebihi kerinduan mereka terhadap apa yang mereka anggap sebagai “rumah”. Kita