Postingan

Menampilkan postingan dari November, 2018

Semangka Merah

Puisi itu merah Hidupnya didalam arang Puisi haruslah hidup Pastikan Ia membara Meskipun dengan api Sebagai penghangat di dingin malam Sebagai pelita di gelap malam Penikmatnya adalah orang-orang pinggiran Ketika puisi hanya kau jadikan budak sajak cinta (nafsu) guna meluluh-lantahkan puluhan wanita Maka, Durjana!! Laknat !! Kafir!! Keluarkan aku dari peradaban Congkel bola-bola mata Sobeklah daun-daun telinga Tanggalkan kepala ini Leher tidak lagi mampu menyanggah hal-hal naif Puisi tidak dari sanubari Kau susun dari bawah hati Tersusun atas tumpu-tumpu lancip birahi Puisi itu merah Ketika di lantunkan hijaulah Ia Menciptakan kesegaran, keadilan, perjuangan, keberanian, kejujuran. Puisi itu ibaratkan semangka Hijau di luar Merah segar di dalam Hadirnya dinikmati para buruh, becak, nelayan dan petani Puisi itu do'a Do'a adalah panjatan harapan Harapan mutlak milik semua orang Tidak hanya teruntuk kutu-kutu cinta Terlebih ungkapan cinta sekedar fo

Bungurasih

Sebungkus nasi. Diantara tumpukan rapi, keranjang bambu. Emak-emak separuh baya melantangkan kata kepada ku. Layaknya widji tukul menikam rezim orde baru dengan kata-kata baku. Lantang, berirama menantang, tanpa ragu. Sego ne lee, sek anget, ono ndog, pitek, daging... Emak tawarkan sebungkus nasi kepada ku. Tidak ada rasa lapar di perut yang ada hanya rasa iba di dada. Ada pula rasa bingung di kepala. Pantaskah anak muda tak berilmu mengibakan seorang emak-emak penjual nasi? Lalu... Ku beli satu. Ku makan Ku kunyah perlahan berganti  menggunakan gigi geraham. Rahang atas dan rahang bawah menjadi kolega baik. Harga nasi tak sepadan dengan porsi. Lauk tak segiur ucapan emak ketika promosi. Tapi rasa syukur tetap terpanjat kepada hyang maha widi . Perut tidak puas. Namun, hati ini merasakan kenyang. Emak tersenyum lega, akhirnya hingga senja dagangan berkurang juga. Anak emak nenunggu di gubuk. Nampak wajah sumringah, seusai mata puas memburu pada kedatangan emak. Mengh