Bungurasih

Sebungkus nasi. Diantara tumpukan rapi, keranjang bambu.

Emak-emak separuh baya melantangkan kata kepada ku.
Layaknya widji tukul menikam rezim orde baru dengan kata-kata baku.

Lantang, berirama menantang, tanpa ragu.
Sego ne lee, sek anget, ono ndog, pitek, daging...

Emak tawarkan sebungkus nasi kepada ku.

Tidak ada rasa lapar di perut yang ada hanya rasa iba di dada.

Ada pula rasa bingung di kepala. Pantaskah anak muda tak berilmu mengibakan seorang emak-emak penjual nasi?

Lalu...

Ku beli satu.
Ku makan
Ku kunyah perlahan berganti  menggunakan gigi geraham.
Rahang atas dan rahang bawah menjadi kolega baik.

Harga nasi tak sepadan dengan porsi.
Lauk tak segiur ucapan emak ketika promosi.
Tapi rasa syukur tetap terpanjat kepada hyang maha widi.

Perut tidak puas. Namun, hati ini merasakan kenyang.

Emak tersenyum lega, akhirnya hingga senja dagangan berkurang juga.

Anak emak nenunggu di gubuk. Nampak wajah sumringah, seusai mata puas memburu pada kedatangan emak.
Mengharapkan makan malam bersama.

Sudah sewajarnya emak bahagia karena tiba waktu bercengkrama bersama keluarga.
Menghabiskan nasi sisa dagangan tadi.

Emak berkata: "sebelum basi, mari kita habiskan nasi bersama mimpi-mimpi besar kalian. Emak ini hanya nenek tua tak berkemampuan apa-apa selain menanak nasi. Kita ini keluarga yang hidup karena kemurahan jembatan sebagai tempat teduh dari terik matahari dan siraman hujan. Kita ini tumbuh atas keramahan asap-asap knalpot orang-orang kota surabaya. Bilamana mimpi-mimpi kalian belum terhapuskan, maka biarkan emak mati dalam embisi kalian nak. Kalian tak mengasihi emak mu seorang ini".

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menguncup Mengembang Layu Gugur

SAYA

Hilangnya Kabut Manusia