Manusia Sebagai Serigala

Homo Homini Lupus secara etimologi diartikan sebagai manusia adalah serigala bagi sesama. Semua sepakat akan tafsir secara harfiah atas kalimat tersebut. Namun secara terminologi dapat diartikan sebagai manusia yang rela menikam bagi sesamanya demi keselamatan dirinya. Baik dari segi kebutuhan hidup maupun kepentingan ego. Mengkebiri kebebasan orang lain demi kebebasan dirinya.

Kebebasan disini terlihat nampak bersifat predikat. Menjadi dalih kepuasan keinginan terlepas dari kekangan naskah akademik yang telah disepakati (hukum atau aturan) hingga bias dari kata hukum positif negara, syari'at dan norma-norma. Bagi para kaum sophis definitif seperti ini membuat manusia skeptis dan liar (berusaha bebas). Berbagai indikasi seperti inilah yang membentuk arti dari pada diksi homo homini lupus sebagai manusia seperti serigala gila yang tega menikam manusia lainnya atas alasan kebenaran subjektif dirinya.

Disisi lain, analogi serigala yang di rasa tidak fasih tafsir menjadikan kontruk logika berpikir yang rancu. Karena, pada normalitas kelompok serigala adalah wujud kekuatan yang terhimpun dalam kekompakan kelompok. Serigala dapat dikatakan serigala sejati ketika dia kuat karena kelompok dan hebat membuat kelompok kuat karena dia menjadi bagian dari kelompok tersebut . Simblolisasi keganasan serigala juga dipakai sebagai kesetian pada sesamanya dan mendahulukan kepentingan bersama ketimbang kepentingan pribadi.

Multi tafsir menjadi pilihan atas diksi kata homo homini lupus. Kosakalimat inipun ramai terdengungkan dalam kontestasi politik atau Demokrasi Elektoral ketika kritikus, pengamat maupun pendukung fanatis keberpihakan meneriaki objek dan lawan politiknya atas tindakan yang di rasa sulit di terima publik atas tindakan, sikap, maupun ucapan. Terlebih kalimat ini di gunakan untuk menjatuhkan secara retorika lawan dialetikanya dengan halus (karena menggunkan istilah lain; analogi). Justru keinginan besarnya untuk menunukkan daya kritis atas fakta sosial dalam ranah politik inilah yang menggiring tindakannya terjerumus pada penganalogikaannya sendiri. Dimana dia menginginkan kejatuhan lawan komunikasi verbal maupun non-verbalnnya secara dialektis dengan ambisius ego dan kepentingan politik dalam kepuasan dirinya.


Menggali dari sisi humanisnya, manusia lebih tepat di berikan analogi sebagai Homo Homini Socius yang secara etimologi diartikan sebagai manusia adalah sesuatu yang sakral bagi sesamanya. Kemudian diperjelas dalam terminologiya, asumsi sakralitas dalam stigmatis pola pikir manusia terhadap lainnya dalam kontak sosial dibuktikan dengan bagaimana getolnya manusia dalam menyusun naskah akademik (peraturan sah) di masing-masing leading sectornya. Baik tertulis maupun tidak; norma, etitut, hak asasi, hukum adat serta hukum negara. Keinginan bebas dalam perdamaian menjadikan suatu kesimpulan bahwasanya benarlah manusia seburuk-buruknya tidak ingin dirinya merasa di rugikan atas dasar kesempurnaan super egonya. Membentuk suatu kepribadian hamba yang taat pada Tuhannya---agamis serta menjadikannnya saling menghargai sesama manusia---sosial.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menguncup Mengembang Layu Gugur

SAYA

Hilangnya Kabut Manusia