Rumah

Sesampai ku di pekarangan rumah langkah kaki ku semakin mendahului satu sama lain. Raga ini tak enggan dan tak lagi sungkan terhadap kampung halaman.

Tibalah aku di depan pintu belakang rumah, ku buka dan ku sapa nyamuk-nyamuk tak beretika yang sedang hilir-mudik di dalam rumah ini.

Hening, Sunyi. 
Hanya ada satu bolam lampu tidur bercahayakan kuning yang masih sudi menyambut kepulangan ku malam hari ini.

Ku tengok ke arah depan terkapar seorang wanita yang sedang terlelap dalam tidur tanpa sehelai alas tidur. Pandangan ku pun langsung memburu raut wajah nya yang penuh dengan goresan sedih, lelah, dan letih.

Ku coba lanjutkan langkah dan ku tengok sebelah kiri, dimana di situ terdalat ruangan untuk sembahyang semacam surau mungil tanpa hiasan apapun.

Disitu terlihat sesosok tubuh tua terkulai lelap dalam mimpi malam. Sekali lagi ku pandangi wajah tersebut. Nampak bekas peluh seusai melewati hari ini yang penuh dengan lelah, letih, dan rasa khawatir. Ia pun tertidur tanpa selembar kain untuk menjadi alas tidurnya.

Bahagia bercampur aduk dengan rasa tak tega dalam dada ini. Tanpa sadar hati ku mengumandangkan doa tanpa seizin mulut untuk berkata-kata.

Fajar, untuk hari ini saja. Janganlah kau datang terlalu cepat. Biarkan mereka memiliki waktu yang cukup untuk meleburkan hitam-putih hari ini yang akan selalu di lewatinya di hari esok dan seterusnya.
Tegakah engkau melihatnya dalam keadaan seperti di setiap malam.

Angin malam kembali berhembus. Menyapu para nyamuk yang sedang mengepakkan sayap hingga berbunyi layaknya gasingan kecil.
Angin kembali berhembus untuk kedua kalinya. Sembari lewat, angin berbisik kepada nyamuk-nyamuk kecil itu: "Jangan berisik, pergilah ke utara saja. Jangan kau ganggu kedua manusia itu". Kemudian ia pergi tanpa pamit.

Seketika segerombolan serangga itu sudah hilang tanpa jejak.
Dan seketika itu pula, malam benar-benar kembali hening.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menguncup Mengembang Layu Gugur

SAYA

Hilangnya Kabut Manusia